Rumus Aerodinamika Habibie

Kulit luarnya bisa saja terlihat
halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian
inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan
produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih
andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an, musibah
pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak
terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan
keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung
unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan
kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang
atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan
keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat.
Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar.
Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh
pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik rambat, yang
kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian
memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal,
karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan
tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti
dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah
muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun.
Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing.
Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan,
pada 25 Juni 1936.
Habibie-lah yang kemudian menemukan
bagaimana rambatan titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci,
sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas
dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr.
Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa
menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih
mudah dan murah.
Sebelum titik crack
bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul
keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF).
Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan
teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat
terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik
crack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih
campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja
dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia
penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa
meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan
bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa
mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh
pesawat. Namun pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya
(total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan
begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin
jauh. Sehingga secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie
ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per
bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan
sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas
landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih
kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet
yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.
Riwayat keilmuan
Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di
Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada
1956. Selama setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB.
Setelah mengantongi gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang,
tahun 1960, sambil melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu
Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.
Otak Habibie makin
kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma
cum laude pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya
dipercaya jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di
Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan
kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya
dalam kurun waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.
Ia meraih
kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu
diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap
pertama yang mampu tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang
dikembangkan HFB bersama industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan
Penerbangan dan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA).
Habibie hanya
sampai tahun 1969 saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm
Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang
baru ini, karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB
disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang
mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.
Di tempat ini pula
Habibie menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan,
aerodinamika dan crack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan,
temuan-temuan Habibie ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor
Habibie dan Metode Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan
dipakai oleh dunia penerbangan internasional.
Pesawat Airbus A-300
yang diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak
lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler,
produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas
royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu.
Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket
di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.
Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang
ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah dalam
upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara lain
pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.
Prestasi keilmuan
Habibie mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota
kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di Gesselschaft
fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The
Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of
Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace
(Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sedangkan dalam
bentuk penghargaan, Habibie menerima Award von Karman (1992) yang di bidang
kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan
dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward
Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan)
bangga sama pak Habibie
BalasHapus