Sinopsis Novel "Negeri 5 Menara"
Washington DC, Desember 2003, jam
16.00. Aku (Alif Fikri) terlalu bersemangat karena minggu depan Aku akan menjalankan
tugas liputanku ke London untuk mewawancarai Tony Blair, Perdana Menteri
Inggris dan menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Tak lama kemudian,
aku menerima pesan Messenger dari “Batutah”,
tak lain adalah Menara Keempat (Atang) yang sekarang berada di Kairo.
Teringat kembali keputusan setengah hati. Aku adalah seorang
anak kampung Bayur, pinggir Danau Maninjo, Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat
itu, aku baru saja lulus dari MTs. Dengan percaya diri, aku putuskan untuk
melanjutkan ke SMA favorit Bukittinggi. Namun sayangnya, Amak tidak setuju
dengan keputusanku itu. Amak menyuruhku untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah.
Aku menentang Amak. Tetapi surat Pak Etek Gindo meluluhkan hatiku untuk masuk
ke Pondok Madani di Ponorogo, Jawa Timur.
Aku ditemani oleh Ayah berangkat
menuju Jawa Timur dengan bus. Di perjalanan, terbayang bagaimana membosankannya
belajar di pondok dengan ditemani oleh kyai-kyai yang sudah tua. Perjalanan ini
berlangsung selama 3 hari. Pagi hari, kami sampai di Pondok Madani. Ismail sang
panitia penerimaan siswa baru mengantarkan kami ke Asrama ‘Al Barq’ (yang artinya
Petir). Sesaat itu pula aku mengenal Dulmajid dari Madura dan Raja dari
Medan.
Hari pertama menjadi siswa PM, kami
masuk kelas dan berkenalan dengan wali kelas kami, Ustad Salman. Ustad Salman
mengucapkan kata sederhana “Man Jadda wa
Jada”. “Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”, ya, itulah kata bak mantera yang membuat hatiku bergetar. Aku mulai
mengenal teman sekelas, seperti : Atang dari Bandung, Said dari Surabaya dan
Baso dari Sulawesi. Sehabis isya, semua murid berkumpul di aula untuk Pekan
Perkenalan murid baru. Yang paling membekas di hatiku adalah nasihat-nasihat
Kyai Rais, Sang Rennaissance Man.
Usai Pekan Perkenalan, kami kembali
ke asrama dengan dipimpin oleh Kak Iskandar, ketua asrama kami. Sore menjelang
Maghrib, Aku, Raja, Atang, Dulmajid,
Baso dan Said menuju koperasi. Lonceng tanda berkumpul di masjid Ja’mi sudah
berbunyi. Kami terlambat 5 menit. Kami tertangkap oleh Rajab Sujai, Sang Kepala
“Kismul Amni” yang aku beri gelar Tyson.
Tyson memberi kami hukuman untuk
menjadi Jasus. Masing-masing dari kami harus mendapati dua murid yang melanggar
aturan dan menuliskan namanya.
Aku, Raja, Baso, Dulmajid, Atang, dan
Said menjadi lebih dekat. Kami senang berkumpul di taman Menara Masjid Ja’mi
menjelang Maghrib. Sebelumnya Aku mengagumi menara masjid di kampungku, menara
kedua yang kukagumi yaitu menara Jam Gadang. Serta menara ketiga yang menakjubkan
adalah Tugu Monas. Lama-lama murid PM memanggil kami “Sahibul Menara”. Disebut sebagai orang yang punya menara, Said
mendapat ide untuk membuat kode. Said kami sebut Menara 1, Raja Menara 2, Aku
Menara 3, Atang Menara 4, Dulmajid Menara 5 dan Baso Menara 6.
Aku baru saja menerima surat dari
kawan karibku, Randai. Dia menuliskan kebanggaannya sebagai siswa SMA
Bukittinggi dan itu membuat hatiku sesak. “Man Shabara Zhafira”- Siapa yang
bersabar akan beruntung. Jangankan menjadi Jasus atau karena surat dari Randai,
semuanya tidak akan menggoyahkan tekad dan cita-citaku.
Aku mulai menyukai guru-guru yang ada
di PM. Seperti : Ustad Surur mengajar Sejarah Dunia, Ustad Faris yang mengajar
mata pelajaran Al Qur’an dan Hadist, Ustad Jamil mengajar kaligrafi Arab, Ustad
Badil mengajar mahfudzhat (kata-kata mutiara), dan Ustad Karim yang mengajar
mata pelajaran favoritku, yaitu Bahasa Inggris. Setiap malam, Aku dan Baso
bagai Simbiosis Mutualisme. Aku mengajari Baso Bahasa Inggris sedangkan Baso
membantuku menghapal mahfudzhat Arab.
Aku memilih kegiatan jurnalistik dan
sepak bola sebagai kegiatan di luar kelas. Hari ini ada pertandingan sepak bola
antara Tim Guru melawan Kelas 6. Yang menjadi perhatianku adalah Kiai Rais, Sang Maradona hafal Qur’an. Kyai Rais
mampu mencetak 1 gol indah, meskipun akhirnya Tim guru akhirnya kalah telak 3-1
dari Kelas 6.
Aku mengganti cita-citaku dari
Habibie menjadi Wartawan Tempo. Aku akan menghadapi ujian. Dan rencanaku
menghadapi ujian malam ini adalah memperbanyak berdoa kepada Allah, sholat
tahajud, serta Sahirul Lail (begadang
dan bangun malam untuk belajar). Di bawah menara, Aku dan Sahibul menara mulai berimajinasi dengan awan-awan putih di langit.
Kami melihat awan putih bagaikan peta dunia.
Kami punya waktu setengah bulan untuk
liburan akhir semester. Tetapi Aku tidak pulang ke kampung. Alhamdulillah, Atang
mengajak Aku dan Baso ke Bandung. Di Bandung, kami mengisi ceramah agama di
Unpad. Selang 3 hari sebelum PM masuk, Said menelpon untuk mengajak kami
berlibur di Surabaya. Said mentraktir kami makan gulai kacang hijau serta
membelikan tiket menonton Terminator
di bioskop.
Samudera Atlantik, Desember 2003.
Penerbangan Washington DC-London dengan British Airways sungguh nyaman. Aku
tertidur hampir 4 jam. Rasa kurma yang manis melempar ingatanku ketika kami
naik kelas 6, kelas puncak di PM.
Pagi itu, Mbok Warsi menuangkan nasi
untukku. Kami sangat senang karena naik ke kelas puncak rantai makanan. Kelas 6
memikul beban yang berat diantaranya mempersiapkan ‘Class Six Show’ dan akan
menghadapi ujian maraton. Namun, itu tidak mengurangi rasa bangga kami menjadi
siswa senior. Kami merayakannya dengan berpesta kurma. Said terpilih Dewan KP menjadi
tukang sensor, jabatan yang pernah diduduki Tyson.
Raja dan Baso menjadi Penggerak Bahasa pusat. Aku menjadi Penggerak Bahasa Asrama.
Atang menjadi Dewan Kesenian Pusat. Dan Dulmajid menjadi Redaktur Majalah
Syams.
Surat Randai yang masuk Universitas
ITB membuatku sesak karena iri. Aku memerlukan waktu 4 tahun untuk mengemban
ilmu di PM. Karena itu, Aku harus menunggu kira-kira 6 bulan lagi untuk
mendaftar UMPTN di ITB. Hari ini, tiba-tiba Ustad Torik memanggilku, beliau
menunjukku untuk menjadi Student Speaker
yang akan berpidato di depan Mr McGregor, Dubes Inggris. Aku berhasil melakukannya
dengan baik. Wejangan Kyai Rais memang ampuh, “Jangan berharap dunia akan berubah, tapi diri kitalah yang harus
berubah.”
PM akan mengadakan syukuran akbar. Syukuran
ini diberi judul “Milad 70 Tahun PM”. Sebagai anggota jurnalistik, setiap hari
kami harus menempel hasil redaksi “Kilas
70” di mading. Dan hari dimana Presiden
datang sebagai tamu undangan, atas ide Ustad Salman, kami membuat kejutan
berupa “Kilas 70 instant”. Sepuluh lembar hasil redaksi dan foto telah
diserahkan kepada Presiden RI sebelum beliau turun dari panggung.
Hanya dua bulan waktu kami, kelas 6,
mempersiapkan pertunjukan akbar “Class Six Show”. Class Six Show kami beri tema
“Perjalanan Mengelilingi Dunia Dalam
Semalam” yang mengisahkan perjalanan Ibnu Batutah selama 30 tahun. “Jam
7.30. it’s show time!” Penonton
terkesima. Ketika pertunjukan ditutup, Kiai Rais memberi nilai “9” untuk hasil
kerja keras kami selama dua bulan ini.
Tiada henti, kami membicarakan Class
Six Show kemarin, tak terkecuali masalah es kering yang harus kami beli di
Surabaya tanpa ijin KP. Tak kusadari, Ustad Torik mendengar pembicaraan kami
itu. Beliau memanggil Aku, Atang, dan Said ke Kantor KP dan mencukur rambut
kami sampai botak sebagai hukuman. Kami bagaikan murid Shaolin yang menahan
malu. Kami segera menemui Pak Narto, tukang cukur resmi PM, untuk membenahi
rambut kami yang masih tidak rata. Atas ketangkasannya, aku menjuluki Pak Narto
sebagai “Penjagal 3000 Kepala”.
Menjelang ujian maraton, Baso
terlihat lesu. Ini sangat aneh. Di balik lemari kecilnya, Baso menceritakan
keluh kesahnya pada Sahibul Menara.
Ayah dan Ibu Baso sudah meninggal dan ia dibesarkan oleh neneknya yang sekarang sedang sakit tua di
Sulawesi. Untuk belajar di Jawa, Baso dibantu oleh Bapak Latimbang. Upaya
menghafal Al Qur’an dilakukannya selama ini karena ia ingin kedua orang tuanya
mendapat jubah kemuliaan di depan Allah nanti. Baso memantapkan keputusannya untuk keluar
dari PM. Hal ini dilakukannya agar ia dapat merawat neneknya dan mengikuti
mimpinya menjadi seorang hafiz. Aku sangat kagum dengan Baso.
Keputusan Baso dan Surat dari Randai
membuatku gelisah lagi. Aku ingin keluar dari PM untuk mendaftar UMPTN di ITB. Aku
mengirim surat pada Amak dan Ayah mengenai perang batinku yang berkecamuk
antara menamatkan sekolah di PM atau keluar sekarang juga. Amak sangat sedih.
Namun akhirnya, kedatangan Ayah membuat hatiku mantap untuk menamatkan sekolah
di PM apalagi ujian maraton tinggal
tiga bulan lagi.
Sebulan lagi “ujian diatas ujian”
akan diadakan. Semua murid kelas 6 menempati aula, kamp konsentrasi. Kamp
Konsentrasi adalah tempat belajar, tempat tidur dan tempat makan bagi kami.
Hatiku mulai khawatir. Untungnya, Said memberi resep bagi kami, Sahibul Menara, ‘berjuang diatas rata-rata
orang berjuang’. Ternyata resep itu sangat ampuh. Kami, Sahibul Menara, dinyatakan LULUS semua. Perjuangan selama 4 tahun
terakhir ternyata tidak sia-sia.
London, Desember 2003. Aku bertemu
Atang dan Raja. Kami melihat Menara granit yang menjulang tinggi di Trafalgar
Square. Lima menara telah menjadi saksi perjalanan impian kami, Sahibul Menara. Dulu aku melihat awan
sebagai benua Amerika, sekarang aku menjadi penelis/wartawan di Washington DC.
Raja bersikeras awan itu berbentuk Eropa, sekarang bersama istrinya, Fatia,
menjadi penegak agama di London. Atang percaya bahwa awan itu berbentuk benua
Afrika, sekarang ia bekerja di Kairo. Baso melihat semua ini dalam konteks
Asia, atas modal hapalan Al Qur’an di luar kepala, ia mendapat beasiswa untuk
kuliah ke Mekah. Sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu
berbentuk peta Indonesia, dan sekarang mereka menjadi pengusaha batik di Pasar
Ampel dan pendiri pondok di Surabaya. Semua impian kini menjadi kenyataan. Allah
Maha Mendengar dan Pengabul Doa.
Catatan :
-
Amak
= ibu
-
PM
= Pondok Madani
-
Kismul
Amni = Bagian Keamanan Pusat
-
Jasus
= mata-mata
-
Makrunah
= mie gemuk- gemuk bergelimang kecap, bawang goreng dan rajangan cengek
-
KP
= Keamanan Pusat
Komentar
Posting Komentar